RSS

Sebuah Jam

jam

Alkisah seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. “Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31.104.000 kali selama setahun ?

“Ha ?,” kata jam terperanjat, “Mana sanggup saya ?”

Tukang jam pun terdiam…

“Bagaimana kalau 86.400 kali dalam sehari ?”

“ha… Delapan puluh enam ribu empat ratus kali ? dengan jarum yang ramping-ramping  seperti ini ?” jawab jam penuh keraguan.

Tukang jam pun terdiam…

“Bagaimana kalau 3600 kali dalam satu jam ?”

“Apaa.. Dalam satu jam harus berdetak 3.600 kali ?”

“Banyak sekali itu” tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.

Tukang jam pun terdiam…

Lalu tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam.

“Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik ?”

“Naaa, kalau begitu, aku sanggup” kata jam dengan penuh antusias.

Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik.

“Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak selama 86.400 kali dalam sehari, dan 3.600 kali dalam satu jam.. dan tentu saja 31.104.000 kali selama setahun.

——

Sahabatku, Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang terasa begitu berat. Namun sebenarnya jika kita sudah melaksanakannya, ternyata kita mampu, bahkan sesuatu yang mungkin semula kita anggap tidak mungkin untuk dilakukan. Yakinlah kepada Tuhan ! Dia sudah mengukur kemampuan Hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan yang kita hadapi ada kemudahan didalamnya.

(hidayah edisi 22 Februari 2013)

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 6 Maret 2013 inci Serba-Serbi

 

Agar Ibadah Anda Diterima Allah Subhanahu wa ta’ala

Pembaca yang dirahmati Allah, sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan diciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Namun perlu diketahui, agar ibadah kita diterima, maka harus terpenuhi syarat-syaratnya. Pada kesempatan ini, kami akan jelaskan sedikit mengenai syarat diterimanya ibadah.

Apa yang dimaksud dengan ibadah ?

Sebagian kaum muslimin keliru dalam mendefinisikan makna ibadah. Menurut mereka, yang namanya ibadah itu sebatas hanya yang disebutkan dalam rukun islam, seperti sholat, zakat, puasa dan haji. Namun pemahaman tersebut kurang tepat. Ibadah memiliki pengertian yang lebih luas. Definisi yang dinilai paling baik adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau mendefinisikan ibadah dengan “suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir)”. Sehingga termasuk ke dalam ibadah adalah perkataan jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada orang tua, menyambung silaturahmi, dan selainnya yang memiliki dalil bahwa amalan tersebut dicintai oleh Allah Ta’ala. (Al ubudiyah oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah)

Syarat diterimanya ibadah

Allah Ta’ala sebagai pembuat syari’at telah menetapkan jenis-jenis ibadah yang dilakukan hamba untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Namun tidak semua ibadah yang dilakukan seorang hamba akan diterima oleh Allah. Bahkan sebagian dari hamba tersebut amalannya sia-sia di sisi Allah. Hal itu terjadi karena hamba tersebut lalai untuk memenuhi syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas, ittiba’ (mengikuti petunjuk rasulullah), dan beragama islam.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”(QS Al Kahfi: 110)

Rasulullah juga bersabda, (yang artinya) “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan, kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajah-Nya”(HR. Al-Nassar), dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al jaami’, no.1856). Juga sabda beliau (yang artinya) “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR.Muslim no.1718)

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa agar amal seseorang diterima, maka harus terkumpul antara ikhlas dan ittiba’. Jika ikhlas saja namun menyelisihi petunjuk rasul maka amal tersebut tidak diterima, begitu pula jika mengikuti petunjuk rasul saja namun riya’ (beribadah karena ingin dipuji) juga tidak diterima.

Syarat yang ketiga agar amal ibadah seseorang diterima disisi Allah harus beragama islam, Sedangkan amalan orang kafir tidak diterima, Allah berfirman (yang artinya),

“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh” (QS  Ibrahim:18)

Ketiga syarat inilah yang harus dipenuhi oleh seseorang agar amal ibadahnya diterima. Jika hilang salah satunya maka tidak akan diterima Allah Ta’ala.

Bukan sekedar niat baik

Sebagai kaum muslim memliki kaidah yang salah dalam beribadah. Mereka berkeyakinan “yang penting niatnya baik”.

Hal ini tidaklah benar, karena seseorang dalam beramal harus berdasarkan ilmu. Ia harus mengetahui perkara apa yang termasuk ibadah dan bukan ibadah. Islam telah mengajarkan semua perkara yang dapat mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka, yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.

Cukuplah kisah 3 orang sahabat nabi ini sebagai contoh bahwa niat yang baik saja tidaklah cukup. Dari Anas bin Malik, beliau berkata “Ada tiga orang yang datang ke rumah sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertujuan) menanyakan tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan kepada mereka, mereka merasa ibadah beliau itu hanya sedikti, seraya berkata: “Dimanakah kedudukan kami dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Padahal beliau telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang”

Salah seorang diantara mereka berkata: “Saya akan mengerjakan sholat malam terus menerus”. Dan yang lainnya berkata:Kalau aku, akan terus menerus berpuasa tanpa berbuka” dan yang satu lagi berkata: “Sedangkan aku tidak akan mendekati wanita dan tidak akan menikah untuk selamanya” Kemudian Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka dan berkata, “Kalianlah yang tadi mengatakan ini dan itu ? Adapun diriku, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada-Nya daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, mengerjakan shalat dan juga tidur, serta menikahi wanita, Oleh karena itu, barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, dia bukan termasuk golonganku”(HR. Bukhari No.5063 dan Muslim No.1401)

Dalam hadits ini, ketiga orang sahabat tersebut memiliki niat yang baik, yaitu ingin beribadah dengan sungguh-sungguh agar mendapatkan pahala yang banyak. Diantara mereka ada yang ingin mengerjakan sholat malam terus menerus (tanpa tidur), ada yang ingin berpuasa setiap hari, dan ada yang iingin meninggalkan syahwatnya dengan tidak menikah agar lebih khusyu’ dalam beribadah. Ketiga amalan tersebut terlihat menakjubkan bahkan mungkin ada yang menilai sangat luar biasa baik. Namun Rasulullah tidak memuji perbuatan tersebut, akan tetapi justru mengingkarinya. Karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Rasulullah, bahkan Rasul mengancam dengan ancaman yang keras. Maka niat baik para sahabat tersebut semata tidaklah cukup. Melainkan harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kaidah dalam ibadah

Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, jika kita telaah kembali dalil-dalil diatas, maka terdapat kaidah penting dalam memahami perkara ibadah agar seseorang tidak tergelincir dalam persimpangan. Kaidah tersebut adalah “Hukum asal perkara ibadah adalah terlarang, sampai dijumpai dalil yang memerintahkannya”.

Oleh karena itu seseorang tidak boleh membuat-buat jenis ibadah sendiri, baik berupa jenis ibadah baru atau tata cara ibadah yang menyelisihi tata cara ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah (walaupun jenis ibadahnya berdalil). Karena tata cara ibadah telah diajarkan secara rinci dari perkara kecil sampai perkara yang besar.

Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Salman dia berkata, “Dipertanyakan kepadanya, “(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga tata cara buang air besar ?”.Abdurrahman berkata: Saiman menjawab, “Ya.”(HR. Muslim no.262)

Rasulullah telah mengajarkan kepada kita perkara yang kecil seperti tata cara buang air besar, maka tentu perkara yang lebih penting yaitu tata cara beribadah telah diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga sudah seharusnya kaum muslimin bersikap kritis terhadap ibadah yang dilakukan dengan bertanya “Adakah dalil yang memerintahkan ibadah ini?!”. Jika tidak ada dalilnya, maka tinggalkan dan jangan dilakukan.

Demikian penjelasan singkat mengenai syarat diterimanya ibadah ini, semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kepada kita jalan yang lurus, dan melapangkan hati kita untuk menerima ilmu dan mengamalkannya.

[Dikutip dari bulletin at-tauhid edisi jum’at 22 Februari 2013]

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 24 Februari 2013 inci Aqidah

 

Berinteraksi dengan Al Qur’an

mohon maaf lama g ngeblog krn lg sibuk bikin skripsi, artikel ini saya dapat dari sebuah majelis

Al-Qur’an ini datang untuk membenarkan kitab-kitab suci yang telah turun sebelumnya. Yaitu yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah dan akhlak, sebelum kitab-kitab itu dipalsukan dan diubah tangan manusia. Al-Qur’an juga mengungguli kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dengan mengoreksi dan meluruskan tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang telah disisipkan oleh manusia dalam kitab-kitab itu. Tentang hal ini Allah berfirman:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan  apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab ( yang diturunkan sebelumnya ) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.”(Al Maaidah:48).

Al-Qur’an, sebagaimana ia diturunkan oleh Allah SWT, mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya istimewa dibanding kitab suci lainnya. Ia adalah kitab Ilahi, kitab suci yang menjadi mukjizat, kitab yang memberikan penjelasan dan dimudahkan untuk dipahami, kitab suci yang dijamin pemeliharaan keautentikannya, kitab suci bagi agama seluruhnya, kitab bagi seluruh zaman, dan kitab suci bagi seluruh manusia.

Al-Qur’an juga mempunyai maksud dan tujuan yang dibidiknya, diantaranya: meluruskan kepercayaan-kepercayaan dan pola pandang manusia tentang Tuhan, kenabian, dan balasan atas amal perbuatan, serta meluruskan pola pandangan tentang manusia, kemuliaannya dan menjaga hak-haknya, terutama bagi kalangan yang lemah dan tidak berpunya.

Al-Qur’an juga bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan Rabbnya, agar manusia hanya menyembah-Nya semata dan bertaqwa kepada_Nya dalam seluruh urusannya.

Al-Qur’an juga bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia, yang jika jiwa itu telah bersih niscaya bersih dan baiklah seluruh masyarakat. Dan jika jiwa itu rusak, niscaya rusaklah masyarakat seluruhnya.

Al-Qur’an juga membangun umat yang saleh yang dianugerahkan amanah untuk menjadi saksi bagi manusia dan memberikan petunjuk bagi mereka.

Setelah itu, mengajak untuk menciptakan dunia manusia yang saling kenal mengenal dan tidak saling mengisolasi diri, saling memberi maaf dan tidak saling membenci secara fanatik, serta untuk bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan, bukan kejahatan dan permusuhan.

Kita berkewajiban untuk memperlakukan Al-Qur;an ini secara baik dengan menghapal dan mengingatnya, membaca dan mendengarkannya, serta mentadabburi dan merenungkannya.

Kita juga berkewajiban untuk berlaku baik terhadapnya dengan memahami dan menafsirkannya. Tidak ada yang lebih baik dari usaha kita untuk mengetahui kehendak Allah SWT terhadap kita. Dan Allah SWT menurukan kitab-Nya agar kita mentadabburinya, memahami rahasia-rahasianya, serta mengeksplorasi mutiara-mutiara terpendamnya. Dan setiap orang berusaha sesuai dengan kadar kemampuannya.

Namun yang sayangkan, dalam bidang ini telah terjadi kerancuan yang berbahaya, yaitu memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Oleh karena itu harus dibuat rambu-rambu dan petunjuk yang mampu menjaga dari kekeliruan usaha ini, serta perlu diberikan peringatan tentang ranjau-ranjau yang menghadang di jalan, yang dapat berakibat fatal jika dilanggar.

Tidak selayaknya umat Al-Qur’an mengalami hal yang sama yang pernah terjadi dengan umat Taurat, yang diungkapkan oleh Al-Qur’an dalam firman-Nya:

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal” (Al-Jumu’ah:5)

Kita juga harus berlaku baik terhadap Al-Qur’an dengan mengikuti petunjuknya, mengerjakan ajarannya, menghukum dengan syari’atnya serta mengajak manusia mengikuti petunjuknya. Ia adalah manhaj bagi kehidupan individu, undang-undang bagi aturan politik, serta petunjuk dalam berdakwah kepada Allah SWT.

Inilah yang berusaha dilakukan buku ini dalam empat bab utamanya, dengan bertumpu terutama pada Al-Qur’an itu sendiri, karena ia adalah objek kita, namun ia juga petunjuk itu.

Umat kita pada abad-abad pertama, yang merupakan abad-abad yang paling utama, telah berinteraksi dengan baik terhadap Al-Qur’an. Mereka berlaku baik dalam memahaminya, mengetahui tujuan-tujuannya, berlaku baik dalam memahaminya, mengetahui tujuan-tujuannya, berlaku baik menerapkannya dengan benar-benar dalam kehidupan mereka, dalam bidang-bidang kehidupan beragam, serta berlaku baik pula dalam mendakwahkannya. Contoh terbaik hal itu adalah para sahabat. Kehidupan mereka telah diubah oleh Al-Qur’an dengan amat drastis dan revolusioner. Al-Qur’an telah merubah mereka dari perilaku-perilaku jahiliyah menuju kesucian islam, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan dalam cahaya. Kemudian mereka diikuti oleh murid-murid mereka dengan baik, untuk selanjutnya murid-murid generasi berikutnya mengikuti murid-murid para sahabat itu dengan baik pula. Melalui mereka itulah Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia, membebaskan negeri-negeri, memberikan kedudukan bagi mereka diatas bumi, sehingga mereka kemudian mendirikan negara yang adil dan baik, serta peradaban ilmu dan iman.

Kemudian datang generasi-generasii berikutnya, yang menjadikan Al-Qur’an terlupakan, mereka menghafal huruf-hurufnya, namun tidak memperhatikan ajaran-ajarannya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara benar dengannya, tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas Al-Qur’an, tidak menganggap besar apa yang dinilai besar oleh Al-Qur’an serta tidak menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang beriman dengan sebagiannya, namun kafir dengan sebagiannya lagi, seperti yang dilakukan oleh Bani Israel sebelum mereka terhadap kitab suci mereka. Mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan Al-Qur’an, seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Meskipun mereka mengambil berkah dengan membawanya serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan ayat-ayat Al-Qur’an, namun mereka lupa bahwa keberkahan itu terdapat dalam mengikut dan menjalankan hukum-hukumnya. Seperti difirmankan oleh Allah SWT:

“Dan Al-Qur’an itu adalah kitab yang kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.”(Al-An’am:155)

Tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, ketertinggalan dan keterpecahbelahan mereka selain dari kembali kepada Al-Qur’an ini. Dengan menjadikannya sebagai panutan dan imam yang diikuti. Dan cukuplah Al-Qur’an sebagai petuntuk:

“Dan siapakah yang lebih besar perkataannya dari pada Allah?.”(An-Nisa:122)

Allahu alam bi shawab.

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada 15 September 2012 inci Artikel

 

Makna Ikhlas

Ikhlas, satu kata tetapi mempunyai makna dan cerita yang begitu banyaknya. Masing-masing orang memiliki definisi tersendiri mengenai kata ini. Memang, yang penting bukan katanya tetapi bagaimana kita memahaminya lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari. Tanpa itu, kata tetaplah hanya sebuah kata yang tidak memiliki pengaruh apa-apa.

Saya akan lebih memfokuskan makna ikhlas kali ini kepada ikhlas dalam hal kehilangan. Pernahkah para pembaca sekalian mengalami yang namanya kehilangan? Pasti pernah dong. Mungkin kehilangan barang kesayangan, kehilangan uang, atau bahkan kehilangan sanak keluarga yang sangat disayangi. Bagaimana rasanya? Tentunya sakit di hati. Rasa penyesalan dan kesedihan yang kemudian muncul mengiringi proses kehilangan tersebut. Hanya saja seberapa dalam kita bersedih dan seberapa lama kita menyesal bias menjadi salah satu tolok ukur tingkat keikhlasan kita atas kehilangan tersebut.

Tapi bukan berarti orang yang kehilangan tetapi tidak bersedih maka berarti dia sangat ikhlas. Belum tentu juga. Justru dipertanyakan apakah emosi orang tersebut masih normal atau tidak. Adalah sebuah kewajaran jika kita bersedih atas kehilangan yang menimpa diri kita. Ada rasa tidak rela yang sesaat muncul setelah kehilangan itu terjadi.

Lalu, bagaimana sebenarnya kita menerapkan sikap ikhlas dalam hal ini? Kalo saya ibaratkan bahwa ikhlas dalam hal kehilangan itu seperti tukang parker. Lho, apa hubungannya? Harus kita pahami bahwa segala apa yang ada dalam diri kita ini sebenarnya bukan milik kita. Ia adalah barang milik Allah SWT yang dititipkan kepada kita di dunia. Artinya, sesuai hokum pinjam meminjam maka jika barang titipn tersebut diambil oleh si empunya maka kita harus rela memberikannya.
Seperti tukang parker, ia dititipi mobil atau motor atau sepeda. Ia dengan sabar menjaga barang tersebut. Bahkan jika perlu ia merapikan kedudukannya supaya ringkas. Suatu saat jika pemiliknya kembali lalu meminta kembali motor atau mobil atau sepedanya, si tukang parker tidak nggrundel sama sekali. Ia rela menyerahkannya kembali kepada pemiliknya.
Tukang parkir hanya diberi imbalan Rp 500 atau paling banyak Rp 5000, dan ia tidak menyesal barang titipannya diambil. Sementara Allah member imbalan surge atas titipan barang yang diberikan kepada kita. Maka tidak ada alas an untuk tidak rela apalagi menyesal yang berlebihan jika barang tersebut diambil oleh-Nya.

Jika kita bias memahami makna kehilangan maka kita bias memberikan sikap yang tepat. Tak ada yang abadi di dunia ini, semua pasti ada tanggal kadaluwarsanya. Sampai saat itu tiba, kita harus benar-benar menjaga barang-barang yang dititipkan kepada kita. Berharap Sang Pemilik Yang Maha Memiliki memberikan imbalan berupa surga yang kekal.

Sumber: http://adnananwar.net/nasehat/makna-ikhlas/

kesimpulan:

“jadilah akar yang selalu gigih menembus tanah demi sebatang pohon ketika pohon tersebut tumbuh, berbuah lebat, dan menampilkan eloknya pada dunia, akar tersebut tidak iri, ia tetap bersembunyi di dalam tanah itulah sebenarnya makna dari sebuah ketulusan dan keikhlasan”

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 21 Maret 2012 inci Akhlak

 

Jam

Seorang anak batita begitu terheran dengan benda berbentuk lingkaran yang dipenuhi angka-angka. Tiga buah jarum yang menunjuk angka-angka di lingkaran itu pun kian membuatnya tercenung.

Ada jarum tipis warna merah yang menunjuk dari satu angka ke angka lain dengan begitu cepat. Ada jarum yang lebih tebal dan lebih panjang yang bergerak lebih lamban. Dan, ada jarum pendek gemuk yang nyaris tak bergerak, tapi bisa berpindah ketika dalam waktu lama tak diperhatikan.

Yang lebih menarik dari semua pemandangan di benda itu adalah ketika pada saat tertentu, ada burung mainan yang tiba-tiba keluar dari bawah lingkaran tersebut dengan suara khas. “Kuk kuk…kuk kuk…kuk kuk…!”

Saat itulah, sang anak pun melompat riang. Tapi, ia masih bingung dengan benda itu.

“Itu jam, anakku!” suara sang ibu tiba-tiba muncul dari balik tubuh mungil si batita.

“Jam…?” sahut si batita seraya mengungkapkan rasa ingin tahunya.

“Iya. Itu jam. Perhatikanlah, sang burung tidak akan bernyanyi kalau si jarum pendek gemuk tetap saja diam, si jarum pendek gemuk akan tetap diam jika si jarum tebal panjang hanya berhenti. Dan, dua jarum itu tidak akan bergerak kalau saja si jarum merah kecil tidak bergerak lincah,” jelas sang ibu sambil memperhatikan wajah si batita yang begitu serius menatap ibunya. Sesekali, pandangannya menoleh ke arah jam, untuk memastikan kebenaran yang diucapkan ibunya.

“Dan anakku, semua jarum-jarum itu bergerak ke arah yang sama,” tambah sang ibu sambil menunjuk ke arah gerakan jam.

++

Jam, dalam makna kehidupan tidak selalu menunjukkan nilai sebuah waktu. Ada sisi lain yang bisa diambil hikmah dari gerakan tiga jarum dalam jam.

Dalam dinamika sebuah organisasi, dinamika tiga jarum jam memberikan makna tersendiri bagaimana interaksi produktif antara pimpinan, manejer, dan pelaksana. Seperti tiga jarum jam, masing-masing level punya intensitas gerakan yang berbeda, karena bobot dan pengaruh gerakannya memang berbeda.

Namun, walaupun punya gerakan yang seolah berbeda, semua level tidak ada yang diam. Semua bergerak dalam sistem yang begitu harmonis. Keharmonisan gerak tiga level inilah yang menghasilkan ‘pengingat suara burung’ yang begitu bermanfaat untuk orang banyak.

Tapi, dari semua nilai pelajaran yang ada dalam tiga level jarum jam, ada satu pakem yang jika dilanggar akan berakibat sangat fatal. Yaitu, walaupun beda level dan beda intensitas gerak, ketiga jarum bergerak dalam arah yang sama. (muhammadnuh@eramuslim.com)

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 5 Februari 2012 inci Serba-Serbi